PARADIGMA BEBAS NILAI

PARADIGMA BEBAS NILAI  

(TELAAH ANALISIS TERHADAP LANDASAN FILOSOFIS SISTEM KAPITALIS, SOSIALIS DAN ISLAM)

Oleh: Muhammad Hambali, SHI

 

A. Pendahuluan

Ilmu ekonomi sebagai bagian integral ilmu  sosial, merupakan disiplin ilmu yang mengkaji tentang cara-cara manusia atau masyarakat dalam menentukan atau menjatuhkan pilihannya dengan atau tanpa alat tukar dalam menggunakan sumber-sumber produktif yang langka untuk memproduksi barang konsumsi baik untuk sekarang ataupun yang akan datang.[1]

Keberadaannya, di awali dari kondisi bahwa manusia agar tetap survive, maka segala kebutuhannya harus terpenuhi. Berangkat dari kesadaran ini, upaya-upaya real pun dilakukan. Salah satunya adalah memaksimalkan potensi diri dalam mengelola sumber daya alam.[2]

Namun demikian, upaya-upaya real tersebut pada akhirnya menyadarkan manusia bahwa antara keberadaan sumber daya alam (SDA) dengan kebutuhan manusia berbanding terbalik. Hal ini pada perkembangan selanjutnya melahirkan permasalahan, yang dalam terminology ilmu ekonomi dikenal dengan istilah The Three Fundamental And Interdependent Economic Problem. Pemmasalah tersubut meliputi what yang mempertanyakan apa dan berapa jumlah barang kebutuhan manusia, how yang mempertanyakan bagaimana cara untuk menghasilkannya, dan for whom yang mempertanyakan untuk siapa barang tersebut.[3]

Tiga permasalahan fundamental tersebut, pada hakikatnya merupakan permasalahan derivative yang dihadapi dalam ilmu ekonomi. Permasalahan tersebut antara lain, pertama Problem of choise, kedua adanya fakta akan kelangkaan sumber daya produktif, ketiga  penggunaan alat tukar, dan keempat produksi dan distribusi kekayaan.

Adalah Adam Adam Smith tokoh ilmu ekonomi modern yang kali pertama mencoba menawarkan gagasan filsafat liberalismenya sebagai solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut. Lewat instrumen pasar bebas, Adam Adam Smith mencoba mempraksiskan teori Invisible Hannya. Dalam teorinya, Adam Smith menyatakan bahwa jika setiap individu yang mempunyai modal dan diberikan kesempatan untuk mengembangkan modal tersebut tanpa adanya campur tangan dari pemerintah, maka dengan di dorong tangan gaibnya individu tersebut akan mampu membangaun komunitas yang sejahtera. Pada perkembangan selanjutnya gagasan filsafat Adam Adam Smith ini, menyatu dalam sistem kapilatisme.

Dalam kenyataannya tawaran Adam Smith tersebut bukan memecahkan (setidaknya secara komperhensif) problem ilmu ekonomi di atas. Filsafat liberalisme yang mengejawantah dalam pasar bebas justru melahirkan ketimpangan dalam masyarakat. Free Fight Liberalism makin mendarah daging pada setiap individu yang pada hakikatnya hanya menguntungkan kalangan pemodal sementara kalangan pekerja nasibnya tak kunjung jelas dalam sistem ini. 

Melihat kondisi demikian, dimana satu sisi sistem kapitalisme yang lahir dari gagasan filsafat liberalisme Adam Adam Smith, hanya menguntungkan kalangan pemodal, maka lahirlah tokoh besar yang mencoba menawarkan  gagasannya sebagai anti tesa sistem kapitalisme dan Filsafat liberalisme. Tokoh tersebut adalah Karl Marx, melalui gagasan filsafat materialisme dialektis dan materialime historis, Marx memberikan analisa terhadap kebobrokan sistem kapitalisme dan keculasan kalangan pemodal.

Gagasan filsafat materialisme dialektis dan materialisme histories tersebut mengejawantah dalam sitem masyarakat yang Marx menyebutnya sebagai sistem sosialis ilmiah.[4] Satu hal yang perlu di catat adalah bahwa sosialisme bagi Marx merupakan sistem masyarakat transisi dari kapitalisme ke komunisme. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa tujuan final sebagai solusi atas ketimpangan dalam sistem kapitalisme adalah sistem komunisme bukan sosialisme. Dasar filsafat praksisnya adalah From Each to according to his ability to eacht according to his need (setiap orang berdasarkan kemampuannya dan setiap orang bedasarkan kebutuhannya).

Walaupun demikian, sejarah juga mencatat lewat gagasan Marx tersebut permasalahan ekonomi di atas belum juga terselesaikan dengan secara komperhensif. Dengan runtuhnya Uni Soviet, masyarakat kembali dibingungkan sistem apa yang kiranya bisa mengatasi  permasalahan ekonomi di atas.[5] Adalah Islam sebagai agama Universal, yang satu sisi memuat ajaran dimensi ritual sisi yang lain juga memuat ajaran dimensi sosial.

Melalui landasan filosofis Tauhid, Al-Adl, Nubuwah, Khilafah Dan Ma’ad, Islam menawarkan gagasan ilmu ekonomi yang balance antara kepentingan duniawi dan ukhrowi.[6] Dalam hal kepentingan duniawi, ekonomi Islam mengedepankan konsep keadilan dan pemerataan. Sedangkan dalam hal ukhrowi, ekonomi Islam menyadarkan manusia bahwa apa yang terjadi di dunia bukanlah akhir segalanya. Oleh karena itu dengan prinsip balance nya ekonomi Islam mengarahkan segala aktifis ekonomi harus diorientasikan pada kepentingan ibadah. Konsekwensi logisnya adalah terbangunnya interaksi ekonomi yang tidak menghalalkan segala cara dan tidak merugikan orang lain.

Dari paparan di atas, pada dasarnya tulisan singkat ini mencoba menelaah landasan filosofis yang membangun kerangka sistem ekonomi, baik sistem kapitalisme, sosialis-komunis dan Islam. Telaah penulis difokuskan pada kajian “Paradigma Bebas Nilai” yang bagi penulis dipandang sebagai akar ketidak tuntasan sistem ekonomi dalam memecahkan permasalahan ekonomi di atas.

  

B. Landasan filosofis Sistem Ekonomi

a. Sitem Kapitalisme

Kapitalisme, sebagai sistem ekonomi modern yang kali pertama menjawab permasalahan-permasalahan fundamental di atas, ia lahir dari gagasan filsafat liberalisme Adam Adam Smith. Melalui instrumen pasar bebas gagasan  filsafatnya  terpraksiskan. Menurut Adam Adam Smith, sistem sosial masyarakat modern adalah sistem sosial pasar bebas atau sistem kebebasan kodrati dan keadilan.[7]

Sistem pasar bebas yang bertumpu pada kebebasan individu, merupakan kunci dalam perekonomian kapitalisme. Dalam bukunya yang berjudul The Wealth of Nations ia mengatakan:

Setiap individu berusaha untuk menggunakan modalnya sehingga diperoleh hasil yang setinggi-tingginya. Dia sebenarnya tidak bermaksud untuk menunjang kepentingan umum dengan perbuatannya itu, dan pula ia tidak tahu sampai seberapa jauhkah untuk kepentingannya itu.

Ia berbuat itu hanyalah untuk kepentingannya sendiri, hanya untuk keuntungan sendiri. Dan dalam hal ini ia dibimbing “tangan gaib” untuk mencapai sesuatu yang menjadi tujuan utamanya. Dengan mengejar kepentingan pribadi itu, ia akan mendorong kemajuan masyarakat dengan dorongan yang sering kali bahkan lebih efektif dari pada kalau ia sengaja melakukannya.[8]

 

Teori tersebut, selanjutnya dikenal dengan teori Invisible Hand (tangan ghaib). Adam Adam Smith yakin, bahwa apabila setiap individu diberi kebebasan untuk berusaha dan menentukan pilihannya. Maka dengan didorong “tangan ghaib” tiap individu akan dapat membantu memecahkan masalah ekonomi sekaligus menunjang kesejahteraan dengan kekuatan modal yang di milikinya.

Gagasan Adam Adam Smith tentang sistem masyarakat modern yang bertumpu pada pasar bebas, ternyata bukan menyelesaikan permasalahan fundamental di atas. Melainkan melahirkan permasalahan baru. Hal ini, tidak terlepas dari kekurang-tuntasan dan ketidak sempurnaan pasar bebas dalam memecahkan permasalahan. Kebebasan individu sebagai manifestasi atas filsafat liberalismenya, pada satu sisi  hanya menguntungkan kalangan pemilik modal. Sedangkan bagi kalangan yang tidak mempunyai modal harus mengikuti kemauan dari pemilik modal.

Persaingan yang tidak fair dan ketidakadilan dalam interaksi sosial-ekonomi memunculkan ketimpangan sosial dalam masyarakat. Motif untuk mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya sebagaimana yang terdapat dalam teori Invisible Hand, melahirkan kesengsaraan bagi golongan pekerja (proletar). Kaum kapitalis dengan semena-mena mengeksploitasi kaum pekerja demi mendapatkan keuntungan yang besar, nasib pekerja tidak pernah di perhatikan, pekerja hanya menerima upah dari kerjanya yang cukup untuk mempertahankan hidupnya.[9]

Namun demikian, ketimpangan sosial yang muncul sebagai akibat sistem pasar bebas pada dasarnya sudah diantisipasi oleh Adam Adam Smith. Hal ini dibuktikan selain menggagas filsafat liberalisme, ia juga menggagas teori  keadilan komutatif.[10] Adam Smith tidak begitu saja percaya terhadap niat baik yang dimiliki oleh tiap individu untuk menunjang kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu,  untuk menjaga kelestarian tersebut, Adam Smith memandang perlunya campur tangan negara dalam menjaga kelestarian pasar bebas. Teori  Adam Adam Smith tentang perlunya campur tangan negara tersebut, selanjutnya di kenal dengan istilah ”Peran Minimal Negara” yang meliputi pertahanan keamanan, penegakan keadilan komutatif dan pelaksanaan pekerjaan dan pranata umum.

b. Sistem Sosialis-komunis

Adalah Karl Marx sosok sentral yang membidani lahirnya sistem sosialis- komunis ini. Sistem ini merupakan hasil telaah analitisnya terhadap sistem kapitalisme. Melalui teori filsafat materialisme dialektis dan materialisme historisnya Marx menyuguhkan pandangan baru sebagai anti tesa terhadap kapitalisme.

Dalam teori materialisme historisnya Marx menggambarkan perkembangan sistem kehidupan manusia. Melalui hukum dialektika Hegel yaitu tesis, anti tesis dan sintesis perkembangan tersebut diuraikan. Perkembangan tersebut meliputi :[11]

 

Komunal

primitive

                                                  feodalisme

Perbudakan

Sosialis-Komunis

 Kapitalisme

 

Pertama, masyarakat komunal primitif, yaitu bentuk masyarakat yang aktivitas produksinya masih menggunakan alat-alat yang sangat sederhana. Pada tingkatan ini alat-alat produksi dimiliki secara bersama (komunal). Masyarakat ini belum mengenal hak milik pribadi, sehingga nilai surplus belum ada pada masa ini. Pola produksi pada saat itu masih terbatas pada kebutuhan konsumsi pribadi. Manurut para ahli, bahwa ciri masyarakat primitif adalah terbatasnya produksi barang-barang pada kebutuhan individu dan tiadanya sistem politik yang terpisah dalam komunitas.[12]

Kedua, ketika masyarakat komunal menemukan alat-alat yang dapat memperbesar produksi maka periode zaman batu berakhir digantikan zaman besi dan tembaga. Dengan adanya lompatan hasil produksi yang disebabkan oleh temuan alat-alat produksi, maka lahirlah masyarakat baru, yaitu perbudakan (slavery). Masyarakat ini muncul dari relation of production antara pemilik alat-alat produksi dengan kaum pekerja yang hanya mengandalkan tenaganya. Pada tahap inilah, masyarakat mulai terbelah menjadi kelas-kelas, yaitu pemilik alat produksi dan budak. Upah yang diterima kaum budak hanya sampai pada batas mempertahankan hidup saja. Marx menilai bahwa :

Nilai upah kerja budak saat itu sudah di bawah standar murah dan di saat yang sama pemilik alat-alat produksi tidak mau memperbaiki alat-alat produksi yang dimilikinya. Namun pada saat itu pula budak makin lama makin sadar kedudukannya di dalam hubungan produksi. Ketidakpuasan ini menjadi awal perselisihan dua kelompok masyarakat, budak dan pemilik alat produksi.[13]

Ketiga feodalisme. Runtuhnya masyarakat perbudakan, melahirkan bentuk masyarakat baru yaitu feodalisme. Alat-alat produksi tersentral pada golongan bangsawan terutama kaum tuan tanah. Sedangkan buruh tani yang berasal dari budak dimerdekakan. Relation of Production semacam ini melahirkan corak produksi baru. Di mana kaum buruh tani lebih mendapatkan bagian yang layak dari kerjanya. Dari corak masyarakat ini malahirkan kelas baru yaitu tuan tanah dan buruh tani.

Keempat masyarakat kapitalisme. Dengan adanya perbedaan kepentingan pada masyarakat feodalisme, yaitu kelas tuan tanah yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar, maka perluasan pangsa pasar adalah keharusan. Pada puncaknya kepentingan ini menjadi tidak terbendung lagi, maka muncullah kelas kaya baru, yaitu borjuis yang menjelma pada sistem kapitalisme. Karakteristik yang menonjol dalam sistem ini adalah kebebasan individu yang didasarkan pada hak milik atas alat-alat produksi. Dari relasi produksi ini muncul kelas baru yaitu kelas bojuis dan proletar.

 Kelima sosialisme. Bentuk masyarakat yang dipahami oleh Marx sebagai masyarakat terakhir dari hasil evolusi sejarah. Pada masyarakat ini tidak ada hak milik, kelas dan pembagian kerja. Semuanya dikelola secara kolektif (bersama). Sosialisme merupakan tahapan masyarakat  transisional menuju masyarakat komunis, yaitu masyarakat tanpa negara dan kelas.

 Dalam sosialisme, negara masih ada, hanya saja fungsinya sudah jauh berkurang dan melemah yaitu hanya sebagai alat mempertahankan hasil revolusi dari serangan balik kaum borjuis. Negara dalam hal ini adalah dalam bentuk kediktatoran proletariat yang bertugas untuk memangkas sisa-sisa kelas borjuis yang ada.[14]

Adapun pilar praksis bagaimana sistem sosialis-komunis ini berjalan, Marx mendesainnya melalui rumusan “From each acording to his ability, to each acording to his needs (dari tiap orang menurut kemampuannya, untuk tiap orang menurut kebutuhannya)”[15]

 

C. Sistem Ekonomi  Islam

Pada hakekatnya, ekonomi Islam juga tidak jauh berbeda dengan ekonomi pada umumnya (konvensional). Ekonomi Islam, juga mengkaji tentang prilaku manusia dalam menjatuhkan pilihan dan penggunaan sumber daya alam produktif. Hanya saja, ekonomi Islam dalam menjatuhkan pilihan dan penggunaan sumber daya alam senantiasa didasarkan pada ajaran-ajaran Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Dengan kata lain, ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.

Sistem ekonomi ini di dasari oleh nilai-nilai filosofis yang integral dalam ajaran Islam. Nilai filosofis tersebut meliputi Tauhid, al-‘Adl (keadilan), Nubuwah, Khilafah, dan Ma’ad.[16] Prinsip-prinsip ini tidak hanya menjadi kerangka kerja bagi Islam (ekonomi). Akan tetapi juga merupakan tujuan dan sumber utama maqashid dari syari’ah Islam.

Pertama, Tauhid. Merupakan fondasi utama dalam Islam. Tauhid merupakan dasar dari seluruh ajaran Islam yang menyatakan pada ke Esaan dan ke Maha Agungan kekuasaan Allah SWT. Dalam ranah ekonomi Islam, filosofi tauhid merupakan pengakuan manusia atas penciptaan alam seisinya oleh Allah swt. Sehingga keberadaan alam beserta seisinya bukan terjadi secara kebetulan sebagaimana teori-teori dari sarjana barat yang mengkaji tentang asal-muasal alam semesta ini.[17]

Prinsip tauhid, juga mengajarkan pada manusia, bahwa segala sesuatu yang dimiliki oleh manusia termasuk di dalamnya harta kekayaan adalah semata-mata berasal dari Allah swt. yang bersifat nisbi/relatif. Sedangkan yang abadi dan mutlak hanya milik Allah swt saja. Dengan demikian, tauhid merupakan ruh/fondasi dari ekonomi Islam.

Kedua, Khilafah. Dalam konsepsi ekonomi Islam, manusia merupakah khalifah Allah swt di bumi. Manusia diutus Allah swt ke bumi membawa misi menjadi seorang khalifah dalam arti sebagai wakil Allah swt dan pemakmur bumi. Alam seisinya sebagai hasil ciptaan Tuhan semata-mata hanya untuk manusia guna dikelola dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan umat.

Ketiga Nubuwah. Filosofi dari prinsip ini adalah bahwa dalam interaksi ekonomi sifat-sifat ke Nabian meliputi amanah, tabliq, fathonah, dan siddiq haruslah menjadi dasar setiap individu. Dengan demikian, upaya untuk menuju pembumian konsep maqashid al-syar’I akan menjadi semakin mudah terealisasikan.

Keempat al-Adl. Konsep keadilan dalam tataran konsepsional filosofis merupakan nilai universal yang terdapat dalam setiap ideology atau ajaran agama. Keadilan merupakan élan vital dalam kehidupan, sebab tanpa keadilan sulit untuk dibayangkan bagaimana kehidupan akan berjalan. Demikian halnya dalam interaksi ekonomi nilai keadilan merupakan instrument untuk menjaga hak-hak setiap individu.

Kelima Ma’ad. Nilai filosofi dari prinsip ini adalah mengajarkan manusia bahwa interaksi ekonomi bukan hanya bertujuan pada pencapaian hasil dunia melainkan pada tujuan ukhrowi juga. Implikasi sosial-praksis dari nilai filosofi ini adalah setiap individu dalam interaksi ekonomi akan senantiasa terbimbing oleh ajaran agama.

Prinsip filosofi di atas pada akhirnya menjadi prinsip derivative yang menjadi karakterristik sistem ekonomi Islam. Prinsip derivative tersebut adalah Multitype Ownership (kepemilikan multi jenis),[18] sosial justice (keadilan sosial) dan freedom to act (kebebasan berkehendak). Dengan landasan filosofis dan prinsip derivative di atas, pada akhirnya akan ditentukan oleh prilaku yang Islami pula. Dengan kata lain, akhlak merupakan penentu apakah landasan filosofis dan prinsip derivative di atas teraplikasikan atau tidak.

C. Sistem Ekonomi Bebas Nilai

Paradigma bebas nilai yang mengejawantah dalam setiap dimensi ilmu pengetahuan, kelahirannya dilandasi atas sikap yang menuntut manusia untuk obyektif dalam melahirkan pemikiran atau teori. Dengan bebasnya saint dari nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, apakah nilai budaya, hukum, adat ataupun agama, diharapkan mampu menjawab dan masuk dalam setiap ruang dan komunitas.

Dalam bidang ekonomi, sistem kapitalisme dengan roh filsafat liberalismenya melahirkan ketergantungan individu yang berlebihan dalam menggapai keuntungan. Motif profit oriented menjadi tujuan final, sehingga nilai-nilai yang berkembang diluar profit oriented  seperti nilai agama dianggapnya sebagai sesuatu yang mustahil.[19]

Epistimologi sistem kapitalisme yang demikian itu, pada akhirnya melahirkan implikasi sosial yang luar biasa hebatnya kesenjangan yang terjadi antara kelas pemodal (The Have) dengan kelas pekerja ( The Have Not). Eksploitasi dan alienasi sebagaimana yang diidentifikasi oleh Marx menjadi karakter yang inheren dalam sistem kapitalisme ini.

Bukan hanya itu, paradigma bebas nilai dalam kapitalisme juga menjadikan manusia terjebak dalam jaringan individualisme yang mementingkan hasrat dan kepentingan diri sendiri tanpa memperdulikan norma-norma sosial. Lebih lanjut lagi, individu-individu yang menyatu dalam masyarakat menjadi kehilangan daya kohesifitas yang pada awalnya merupakan identitas perekat relasi-relasi sosial yang harmonis serta tereduksinya prinsip-prinsip humanisme.[20]

Berbanding terbalik dengan kapitalisme, sistem sosialis-komunis  melihat realitas yang terjadi dalam masyarakat di bawah cengkraman kaum kapitalis, mencoba mengembalikan nilai-nilai humanisme yang telah tereduksi dalam aktifitas ekonomi kapitalis. Lewat Marx, upaya untuk mengembalikan nilai-nilai humanisme tersebut di bangun melalui teori kepemilikannya. Menurut Marx dari sudut kepemilikan sejarah manusia terbagi menjadi tiga tahapan, pertama tahap masyarakat komunal primitif yang belum mengenal pembagian kerja adan hak milik. Kedua tahap pembagian kerja dan lahirnya hak milik. Ketiga tahap penghapusan hak milik.[21]

Walaupun demikian, upaya yang dilakukan oleh Marx dengan sistem sosialis-komunisnya pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan kapitalisme. Lagi-lagi paradigma bahwa ekonomi adalah disiplin keilmuan yang independent dan tidak terkait dengan nilai-nilai lain, bagi penulis memandangnya sebagai kuncu masalah. Indikasi akan hal ini, dapat kita lihat dengan solusi yang ditawarkan oleh Marx yaitu menghapus kepemilikan pribadi.

Realitas empiris yang terpotret dalam sistem kapitalisme begitu frontalnya berpengaruh pada pemikiran Marx, sehingga hampir ruang untuk memberi kepercayaan individu sulit untuk dijumpai. Lebih lanjut, bagi penulis jejak langkah Marx dalam menafikan keberadaan nilai-nilai di luar kepentingan ekonomi (penghapusan ekspolitasi dan alienasi), teramat jelas dapat dilihat dalam filsafat materialismenya (dialektis dan histories).

Di sisi lain, sebagaimana yang dikatakan oleh Anthony Gidden dan  Francis Fukuyama, runtuhnya imperium Uni Soviet menandai telah buntunya solusi dan sejarah kehidupan manusia. Dalam perkataan fukuyama realitas tersebut disebutnya dengan The And Of History. Sedangkan bagi Gidden, realitas tersebut merupakan bukti bahwa manusia harus segera mencari jalan tengan antara kapitalisme dan sosialis-komunis, dalam istilah Gidden The Third Way.

Adalah Islam sebagai agama yang universal, mencoba menawarkan gagasan baru yang mengintegralkan nilai-nilai agama dalam aktifitas ekonomi. Seperti pemaparan penulis sebelumnya integralisasi nilai-nilai agama tersebut pada akhirnya menjadi landasan filosofis sistem ekonomi Islam. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah yang melatar belakangi keengganan sistem konvensional( kapitalis dan sosialis-komunis) dalam menerima nilai-nilai di luar kepentingan ekonomi. Secara singkat mungkin dapat kita simak dalam skema diagramatis berikut ini :

Dari skema diagramatis di atas, dapat di pahami bahwa keengganan sistem konvensional dalam menerima nilai-nilai di luar ekonomi adalah berangkat dari kerangka epistimologi masing-masing. Dengan kata lain, paradigma ekonomi konvensional bisa dikatakan pada awal mulanya dalam memahami dialektika kebutuhan dan keterbatasan SDA  parameter solusinya adalah segala sesuatu yang bersifat rasional-empiris. Oleh karena itu, adalah wajar mana kala kerangka operasional praksis dari sistem konvensional an sich terhadap nilai-nilai di luar ekonomi.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Chapra, M. Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi: Islamisasi Ekonomi Kotemporer, Alih Bahasa Nur Hadi Ihsan, Surabaya : Risalah Gusti, 1999 

Keraf, Sonny,A, Keadilan, Pasar Bebas, Dan Peranan Pemerintah : Telaah Atas Ekonomi Politik Adam Smith, Yogyakarta: Kansius, 1996

Kusumandaru, Ken, Budha,  Karl Marx,Revolusi, Dan Sosialisme: Sanggahan Atas Franz Magnis Suseno,  Yogyakarta:Insist Presss, 2003

Magnis Suseno, Franz, Pemikiran Karl Marx : Dari Sosialisme Utopis Keperselisihan Revisionisme, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003

Pressman, Steven, Lima Puluh Pemikir Ekonomi Dunia, Alih Bahasa Tri Wibowo Budi Santoso, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000

Rosyidi, Suherman, Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Makro Dan Mikro, Jakarta: PT.. Raja Grafindo, 1996

Ramly, Muawiyyah,Andi, Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme Dialektis Dan Materialisme Historis, Yogyakarta: Lkis,2000

Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam,Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007

A.    Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007

 

 

 

 

 

 


[1] Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi:Pendekatan Terhadap Teori Ekonomi Makro Dan Mikiro, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), h.10

[2] Usaha pengembangan potensi diri dalam rangka mengelola SDA, tentu sangat terkait dengan kapan dan di mana manusia hidup. Dalam hal ini, pada zaman pra sejarah yang dikenal dengan pola hidup nomadennnya pengembangan potensi diri ini terbatas pada komsumsi pribadi saja. Seiring dengan meningkatnya pengetahuan manusia dan perkembangan teknologi, maka pengembangan potensi diri ini pun berubah, bukan hanya pada kebutuhan komsusi saja melainkan juga aktivitas produksi yang menghasilkan nilai lebih yang melahirkan pertukaran barang.

[3] Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi…………, h.11

[4] Term sosialisme ilmiah yang digunakan Marx, pada dasarnya bertujuan untuk membedakan dan menyadarkan pandangan kalangan sosialis terdahulu (Sosialis Uthopis) sebelum Marx. Tokoh dari sosialis Uthopis tersebut seperti Proudhon, Bakunin, dan Owen. Bagi Marx, sosialisme ilmiah merupakan sebuah keharusan, sebab dalam sistem kapitalime keberadaan kelas borjuis dan kelas proletar adalah saling kontradiktif  dan tidaka mungkin untuk berjalan beriringan. Namun bagi kaum soialis uthopis, sosialisme adalah gagasan reaksioner atas ketimpangan yang terdapat dalam sistem kapitalisme antara kelaas borjuis dan proletar. Baca Franz Magnis Suseno,Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Uthopis ke Perselisihan Revisionisme, ( Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h.117

[5] Anthony Gidden menyatakan kebuntuan yang dialami oleh kapitalisme dan komunisme dalam menangapi problem masyarakat, pada akhirnya melahirkan kegelisahan untuk mencari solusi baru. Dalam istilah Gidden dikenal dengan The Thrid Way (jalan ketiga). Dalam perkembangannya doktrin universal ajaran Islam dipandang sebagai jalan ketiga tersebut.

[6] Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islam, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007 ), h. 33-44

[7] A. Sonny Keraf, Keadilan Pasar Bebas dan Peran Pemerintah (Telaah atas Etika Politik Ekonomi Adam Adam Smith) Jurnal Prisma: September, 1995, h. 4

[8] Suherman , Pengantar Teori….., h. 16-17

[9] Upah yang diterima oleh buruh yang hanya cukup untuk mempertahankan hidupnya saja, merupakan teori upah yang lahir dari gagasan Adam Adam Smith, yang dikenal dengan istilah “Upah Subsistensi”. Teori ini menyatakan bahwa jika upah yang diterima buruh diatas tingkat subsistensi maka kesejahteraan pekerja akan naik dan jumlah pekerja yang mati akan berkurang. Sebaliknya jika upah yang diterima pekerja adalah dibawah subsistensi maka banyak pekerja yang akan mati. Steven Pressman, Lima Puluh Pemikir Ekonomi Dunia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), h.35

[10] Keadilan komutatif Adam Smith, menghendaki adanya pemulihan kembali kerusakan atau kerugian yang terjadi dalam mekanisme pasar bebas serta berkaitan dengan pertukaran barang secara fair dalam transaksi ekonomi. Prinsip ini selanjutnya dikenal dengan prinsip No Harm.

[11] Andi, Peta Pemikiran Karl Marx: Materialisme Dialektis Dan Materialisme Historis, (Yogyakarta: LKis, 2000), h. 134-138

 [12] Ken Budha Kusumandaru, Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme: Sanggahan Terhadap FranzMagnis Suseno, (Yogyakarta:Insist Presss, 2003), h. 68

[13] Andi , Peta Pemikiran…….., h. 196

[14] Franz , Pemikiran Karl Marx……., h. 169

[15] Andi, Peta Pemikiran….., hal. 158.

[16] M. Umer Capra, Islam dan Tantangan Ekonomi : Islamisasi Ekonomi Kontemporer, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), h. 217

[17] Asal-muasal alam semesta dalam pandangan sarjana Barat sangat beraneka ragam, seperti Thales yang menyatakan pada dasarnya segala sesuatu itu berasal dari air, lain lagi dengan pandangan Heraklitos ataupun Phitagoras.

[18]  Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, kepemilikian terdiri atas 3 macam, yaitu kepemilikan pribadi (Private Ownership), kepemilikan sosial (sosial Ownership) dan kepemilikan negara (state Ownership).

[19] Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), h. 18

[20] Ibid., h. 18-19

[21] Franz Magniz, Pemikiran Karl Marx…………,h. 102